Gaza, KMN – Krisis kemanusiaan di Jalur Gaza semakin memprihatinkan dengan adanya laporan mengenai kekacauan distribusi bantuan pangan. Pasokan yang seharusnya disalurkan secara gratis kepada warga yang kelaparan, dilaporkan ditimbun oleh pedagang dan kelompok tertentu, kemudian dijual kembali di pasar gelap dengan harga yang tidak terjangkau.
Situasi ini menciptakan penderitaan berlapis bagi warga Palestina. Di tengah blokade dan serangan militer, mereka juga harus berhadapan dengan pasar gelap yang menjual barang-barang bantuan. Sejumlah video yang beredar di media sosial menunjukkan barang-barang bantuan, seperti makanan kaleng dengan label “bantuan kemanusiaan dan bukan untuk dijual”, diperdagangkan secara terbuka. Seorang warga bahkan mengaku harus membeli tenda yang seharusnya gratis seharga 3.000 shekel (sekitar Rp3,78 juta).

Harga Kebutuhan Pokok Meroket
Kelangkaan barang akibat blokade dan penyelewengan bantuan telah memicu lonjakan harga kebutuhan pokok yang ekstrem. Harga-harga dilaporkan meningkat hingga 527%, membuat sebagian besar warga tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari.
Berikut adalah beberapa contoh kenaikan harga yang drastis:
- Tepung Terigu: Harga satu karung tepung seberat 25 kg di Gaza Utara bisa mencapai USD 1.000 (sekitar Rp 15,5 juta)
- Gula: Harga per kilogram di Gaza Utara mencapai USD 60 (sekitar Rp 930.000).
- Telur: Harga selusin telur yang sebelum perang sekitar USD 3,50, kini meroket hingga USD 73 di Gaza Utara.
- Kentang: Tiga buah kentang yang dulu sangat terjangkau, kini dijual seharga 150 shekel (sekitar Rp 630.000).
- Air Bersih: Harga air minum dalam kemasan juga naik lebih dari dua kali lipat.
Kondisi ini memaksa banyak keluarga tidur dalam keadaan lapar dan bergantung pada makanan kaleng dari bantuan kemanusiaan yang langka.
Peran Kontroversial Gaza Humanitarian Foundation (GHF)
Menanggapi krisis distribusi, Israel mendukung pembentukan lembaga bantuan baru bernama Gaza Humanitarian Foundation (GHF) pada Mei 2025. GHF, yang juga didukung oleh Amerika Serikat, ditujukan untuk menggantikan peran lembaga PBB seperti UNRWA dalam menyalurkan bantuan, dengan dalih mencegah pasokan jatuh ke tangan Hamas.
Namun, kehadiran GHF menuai kritik dan penolakan luas dari PBB dan organisasi kemanusiaan internasional lainnya. Mereka khawatir GHF dirancang untuk melayani tujuan militer dan politik Israel, bukan murni untuk kemanusiaan. Kritik ini diperkuat oleh laporan tewasnya ratusan warga sipil di sekitar lokasi distribusi yang dikelola GHF. Kantor HAM PBB melaporkan lebih dari 1.000 warga Palestina tewas oleh tembakan pasukan Israel sejak Mei 2025 saat mencoba mendapatkan makanan. Amnesty International bahkan menyebut Israel sengaja membuat rakyat Palestina kelaparan sebagai “senjata perang”.
Seruan PBB untuk Pencabutan Blokade
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara konsisten mendesak Israel untuk mencabut blokade sepenuhnya dan membuka semua jalur perbatasan untuk pengiriman bantuan kemanusiaan. Para pejabat PBB berpendapat bahwa hanya dengan membanjiri Gaza dengan bantuan, pasar gelap dapat dilemahkan, penjarahan berkurang, dan harga-harga akan turun.
Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Kemanusiaan, Tom Fletcher, menyatakan bahwa PBB memiliki pasokan bantuan yang siap di perbatasan dengan mekanisme distribusi yang ketat untuk memastikan bantuan sampai ke warga sipil. Namun, akses tersebut ditolak oleh Israel. Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) melaporkan memiliki ribuan truk bantuan makanan dan medis yang tertahan di Mesir dan Yordania.
Krisis ini menunjukkan kegagalan sistemik dalam melindungi warga sipil dan memastikan penyaluran bantuan yang aman dan efektif di tengah konflik. Seluruh 2,2 juta penduduk Gaza kini menghadapi krisis pangan akut, dengan ancaman kelaparan massal yang disebut PBB sebagai “dibuat dan disengaja”. (KMN-01)